oleh; Abdul Faqih M. R. (Alva)
Entah sudah berapa kali aku memohon kepadanya tuk mau membantuku menemui mimpi, mimpi yang hadir ke pesta sunyi yang aku gelar untuk merayakan kelelahanku. Tidur.
Andai bukan karena mimpi itu, tak mungkin aku sampai seperti ini, merendahkan harga diriku sebagai seorang yang terpelajar dengan mengemis, menangis-nangis memohon kesediaannya untuk mengikutiku.
“kau mimpi apa” tanyanya.
“Aku bermimpi ingin bercerita”.
“kamu tak akan bisa menemuinya”
“mengapa” tanyaku.
“Karena duniamu dengan dunianya berbeda”
“tapi mengapa ia bisa datang dalam pesta sunyiku”
“itulah hebatnya mimpi, ia bisa datang kepada siapa saja yang menggelar pesta sunyi”.
“ini tidak adil”
"Memang ! tapi kemana kau akan menuntut keadilan itu?"
“ tapi aku sangat ingin, aku sangat ingin menemui mimpi yang menghampiriku setiap malam. Aku ingin menemuinya, aku ingin menyalaminya, aku ingin berkanalan dengannya, aku ingin memukulnya, menghukumnya karena selalu saja hadir dalam pesta hening tidurku. Aku tak pernah mengundangnya untuk hadir dalam pesta yang ku gelar hanya untuk diriku sendiri.”
***
"Aku masih ingat saat pertama kali menjumpainya. Ia bersembunyi di sebuah tempat yang sangat tersembunyi. Aku datang ke rumahnya di sebuah tempat, entah apa namanya. Di sana ia hidup dengan beberapa penduduk yang mempunyai mata kucing. Mereka bisa melihat dalam gelap. Ya gelap gulita, tak ada siang di sana, yang ada hanya malam.
Sebelum memasuki kawasan itu, aku berpapasan dengan seorang yang sangat tua. Ia sangat ramah sekali. Bahkan dengan orang yang belum ia kenal. Sastra. Nama orang tua itu.
“Mau kemana anak muda?”
“aku ingin ke rumah cerpen” jawabku mantap, “apakah bapak tau di mana ia berada?” tanyaku kepadanya.
“oooo cerpen. Ia ada di sana, rumahnya ada di penghujung jalan ini, kamu berjalan saja lurus, nanti kau akan menemuinya."
“hati-hatilah, di sana tak ada matahari, jika kau ingin ke sana, bawalah kacamata ini” seraya menyerahkan kacamata tanpa gagang berbentuk hati kepadaku. Kacamata aneh yang baru pertama kali ini aku melihatnya.
“dengan kacamata ini, kamu akan dapat melihat dalam kegelapan" lanjutnya. "ini adalah Kacamata hati".
Tak sempat aku mengucapkan terima kasih, bapak tua itu langsung pergi, menghilang.
Dengan semangat nekat, aku lanjutkan perjalananku ke rumah cerpen, aku akan memintanya agar sudi membantuku menemui mimpiku. Aku bermimpi ingin bercerita.
tak terasa ahirnya aku sampai juga di penghujung jalan, dan tiba-tiba aku berada dalam sebuah ruang, ruangan yang tak berdinding.
dari dalam muncullah seseorang yang sudah tua, hampir sama tuanya dengan kakek Sastra yang aku temui tadi sebelum memasuki kawasan tanpa mata hari ini.
"anak muda, angin apa yang membawamu ke sini"
tak aku pedulikan pertanyaanya, aku balik bertanya "Apakah kau cerpen?!"
"ya, akulah cerpen"
"aku ingin kau mau membantuku"
"membantu apa?"
"membatu menemui mimpi, mimpi bahwa aku ingin bercerita."
“aku tak mau membantumu”
“kenapa”
“karena kamu tak akan bisa”
“apa kekuranganku, bukankah aku sama dengan mereka yang bisa bercerita, aku punya mulut, aku punya kosa kata, aku punya hati, aku punya…..”
“Hahahahahahaha kau tak sama dengan mereka,”
“apanya yang berbeda?’ tanyaku
“Kau tau, mereka semua gila”
“GILA.!?”
“tepatnya menggilakan diri”
“MENGGILAKAN DIRI…!?”
Hahahahahha, tawanya semakin menggema memenuhi ruang tak berdinding yang kami tempati.
“Anak muda, tampaknya kamu tak mengenal mereka.”
Mereka? Para cerpenis itu? Aku kenal mereka, Aku kenal Joni Ariadinata, Aku kenal Agus Noor, Aku kenal Lan Fang, Aku kenal Ayu Utami, Aku kenal Dewi Lestari, Aku kenal Habiburrahman el Syirazi, Aku kenal Andrea Hirata Aku kenal ………..
“Stop, kau belum mengenal mereka. Kau hanya melihat mereka, kau belum kenalan. Apalagi berteman.
“Ya mereka para cerpenis itu adalah sekumpulan orang-orang gila atau lebih tepatnya menggilakan dirinya. Asal kau tau, mereka selalu memikirkan sesuatu yang tak masuk akal untuk diakal-akalkan. Mereka akal-akalan membuat cerita. Simak saja cerita-cerita yang mereka ceritakan. Banyak cerita yang aneh yang tak masuk akal tapi dipaksa untuk masuk akal. Apakah ini bukan sesuatu kegilaan?!”
“Itu kan imajinasi?!” jawabku spontan.
“Imajianasi?!” HAHAHAHAHA
Si cerpen malah tertawa sekeras-kerasnya.
“Tepat! Itu adalah Imajinasi dan kata yang lain dari ‘imajinasi’, adalah Gila. G-I-L-A.”
Tap…….. belum sempat aku menyanggah perkataannya bahwa imajinasi adalah gila, ia nyerocos lagi.
“Seperti cerpen ‘Aku Ingin Bercerita’ buatan Abdul Faqih M.R. apakah bisa sebuah cerpen berbicara kepada si pembuat cerpen itu sendiri. Dalam cerpen yang katanya bagus itu, ia mengajak cerpen untuk membantu dirinya menggapai mimpi, si ‘aku’.
“Si aku dalam cerpen tersebut bermimpi ‘ingin bercerita’ dan meminta si ‘cerpen’ untuk membantunya menggapai mimpi itu, mimpi ingin bercerita.
“Abdul Faqih M.R. memposisikan cerpen, atau menjadikan cerpen selayaknya manusia yang bisa berbicara, punya pikiran, punya mata, mulut, perut, telinga, hidung, butuh makan dan minum, dan butuh toilet untuk buang air besar.
“Dan yang membuat aku terpingkal adalah bahwa si cerpen juga punya hati, punya perasaan, punya rasa cinta, punya pacar.
“Apakah ini masuk akal?!”
Mendengar cerita dari cerpen itu aku tertegun. Aku berpikir kembali, apakah aku benar-benar ingin menemui si mimpi yang datang setiap pesta sunyiku. Aku sudah bosan dengan kehadirannya yang datang tanpa diudang, merusak pesta yang aku gelar hanya untukku. Tapi ia selalu hadir mengganggu.
"bagaimana, apakah kau masih ingnin menemui mimpi?"
"ya, aku ingin menemuinya."
“aku hanya ingin agar kau mau ikut denganku, membatuku menemui mimpiku, 'mimpi aku ingin bercerita'.” Aku tak peduli apakah aku seperti mereka atau tidak."
“Anak muda, Jika memang kau ingin seperti mereka yang dengan mudah bercerita, ikutilah caranya”
“aku bukan plagiat”
“siapa yang bilang bahwa kau plagiat? Aku hanya mengatakan bahwa bila kamu ingin seperti mereka yang dengan gampang membuat cerita, membuallah, jadikan dirimu gila.!
“Apa? Menjadikan gila bagi diriku sendiri, menggilakan diri!?”
“Bukankah kamu ingin meraih mimpi bodohmu itu, mimpi ingin bercerita?!”
“maka saranku, gilakan diri kamu”
“Apa? Menggilakan diri?!”
“Kenapa?! Kau tak mau menggilakan diri, maka jangan harap kau bisa bercerita!”
***
Teringat kembali olehku seorang tamu tanpa undangan yang hadir dalam pesta sunyiku. Ia memperkenalkan dirinya “aku mimpi”. Ia kemudian merusak acaraku, memporak-porandakan pesta yang kugelar. Memakan segala hidangan yang aku sajikan untukku sendiri. Menghabiskan semua minuman hingga tak tersisa. Lalu ia pergi begitu saja tanpa pamit. Tanpa minta maaf, tanpa basa basi, ia mengghilang begitu saja.
“Gimana? Jadi mengajakku?” Tanya si cerpen mengagetkan lamunanku.
“Ya. Kamu harus ikut aku.”
“Sungguh?! Kamu mau menjadikan dirimu gila?!”
“Ya. Aku mau menggilakan diriku jika memang itu syarat agar kau mau ikut denganku. Aku ingin membalas dendam kepada mimpi yang merusak acaraku. Aku ingin membuatnya merengek-rengek meminta maaf kepadaku.”
“jika itu tujuannmu, aku tak mau ikut denganmu. balas dendam dilarang agama. Dan kau tau itu.”
“baiklah, aku tak akan balas dendam kepada mimpi, aku hanya ingin menjabat tangannya, berkanalan dengan dirinya dan meminta kepadanya untuk memberikan yang dibawanya ketika datang dalam pesta sunyiku. Ketika itu ia membawa sebuah kado. Kado berbentuk aneh.
“Aku Ingin Bercerita”
“kalau itu niatmu, baiklah aku mau ikut denganmu untuk menemui si mimpi. Tapi ke mana kau akan membawaku?!”
Aku diam tak bisa menjawab, ke mana ya? Aku akan membawa cerpen.
***
“ke mana? ” tanyanya lagi
Ya ke mana? Aku berpikir keras, belum juga aku temukan tujuan ke mana akan kubawa cerpen.
“KE MANA?” KE MANA?” KE MANA?” KE MANA?”
Ke……
“ke …….”
Ya ke…….
“Sudah jangan terlalu dipikirkan. bawa saja aku ke mana-mana.Hei lihatlah, itu si mimpi datang sendiri ke sini. Hampiri ia, jabat tangannya, eh jangan lupa siapkan senyummu.”
Si mimpi itu datang tiba-tiba seperti ketika ia datang dalam pesta sunyiku kala itu.
“ini hadiah untukmu” kata si mimpi seraya memberikan kado “aku ingin bercerita”.
Kulirik cerpen yang ada di sampingku. Ia tersenyum, senyum pertama yang aku lihat semenjak aku berkenalan dengannya. Lalu ia berbisik ke telingaku “Selamat. Kau sudah gila!”.
Sidogiri 02 Jumadats Tsani 1431 H